Jumat, 21 Januari 2011

ANALISA HUBUNGAN BENTUK BIROKRASI NEGARA MAJU DENGAN NEGARA BERKEMBANG DALAM MENGATASI KEBUTUHAN MASYARAKAT

A. PENDAHULUAN

Manusia sebagai makhluk social selalu berinteraksi dengan lingkungan social dan lingkungan alam dimana dia berada. Dalam setiap lingkungan terdapat aturan / nilai yang merupakan bagian dari kearifan social yang berkembang menjadi pranata social yang kemudian membentuk institusi guna mengakomodir pola pemenuhan kebutuhan masyarakatnya. Akan tetapi pranata tersebut tidak selamanya berfungsi dalam pemenuhan kebutuhan tersebut sehingga mereka mengadakan hubungan yang disebut Dyadik (Soekanto,1986). Hubungan Dyadik terdapat pihak yang menempati posisi superior disebut sebagai Patron dan ada pihak yang menempati posisi Inferior atau Klien.

Bermula dari tulisan James Scott (Moral Petani, perlawanan kaum petani,dll) (1972) menyatakan hubungan patron-kilen merupakan “suatu kasus khusus hubungan antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang dengan status social ekonomi lebih tinggi (Patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya untuk memberikan perlindungan / keuntungan kepada seseorang dengan status lebih rendah (Klien) yang pada gilirannya membalas membalas pemberian tersebut dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada Patron”.
Istilah ‘patron’ berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti ‘seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh’ (Usman, 2004: 132). Sedangkan klien berarti ‘bawahan’ atau orang yang diperintah dan yang disuruh. Selanjutnya, pola hubungan patron-klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior), dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior). Atau, dapat pula diartikan bahwa patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya (Scott, 1983: 14 dan Jarry, 1991: 458). Pola relasi seperti ini di Indonesia lazim disebut sebagai hubungan bapak-anak buah, di mana bapak mengumpulkan kekuasaan dan pengaruhnya dengan cara membangun sebuah keluarga besar atau extended family (Jackson, 1981: 13-14). Setelah itu, bapak harus siap menyebar luaskan tanggung jawabnya dan menjalin hubungan dengan anak buahnya tersebut secara personal, tidak ideologis dan pada dasarnya juga tidak politis. Pada tahap selanjutnya, klien membalas dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan kepada patron (Scott, 1993: 7-8 dan Jarry, 1991: 458). Hubungan patron-klien itu sendiri telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Untuk pemahaman lebih lanjut mengenai hubungan semacam ini, ada baiknya memperhatikan defenisi sebagaimana yang dikemukakan oleh Lande sebagai berikut (Lande, 1977: xx):
Sedangkan Scott juga mengungkapkan pemahamannya tentang hubungan patron-klien, sebagaimana berikut ini (Scott, 1972: 92):
Relationship in which an individual of higher socio-economis status (patron) uses his own influence and resources to provide protection or benefits or both, for a person of a lower status (client) who for his part reciprocates by offering general support and assistance, including personal service, to the person.
Pendapat yang hampir serupa juga diketengahkan oleh Palras, dimana menurutnya hubungan patron-klien adalah suatu hubungan yang tidak setara, terjalin secara perorangan antara seorang pemuka masyarakat dengan sejumlah pengikutnya (Palras, 1971: 1). Lebih lanjut, Palras mengungkapkan bahwa hubungan semacam ini terjalin berdasarkan atas pertukaran jasa, dimana ketergantungan klien kepada patronnya dibayarkan atau dibalas oleh patron dengan cara memberikan perlindungan kepada kliennya.
Terjadinya pertukaran barang atau jasa dalam relasi ini karena orang yang memiliki surplus akan sumber-sumber atau sifat-sifat yang mampu memberikan reward cenderung untuk menawarkan berbagai macam pelayanan atau hadiah secara sepihak. Dalam hal ini mereka dapat menikmati sejumlah besar reward yang berkembang dengan statusnya yang lebih tinggi akan kekuasaan atau orang lain. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa orang yang selalu menerima kemurahan hati secara sepihak harus menerima posisi sub-ordinasi yang berarti suruhan atau obyek (Ngatijah, 1987: 30).
Adanya perbedaan dalam transaksi pertukaran barang atau jasa akibat terdapat pihak yang berstatus sebagai superior di satu sisi dan pihak yang berstatus sebagai inferior di sisi lain berimplikasi pada terciptanya kewajiban untuk tunduk hingga pada gilirannya memunculkan hubungan yang bersifat tidak setara (asimetris). Hubungan semacam ini bila dilanjutkan dengan hubungan personal (non-kontraktual) maka akan menjelma menjadi hubungan patron-klien. Oleh karena itu, Wolf menekankan bahwa hubungan patron-klien bersifat vertikal antara seseorang atau pihak yang mempunyai kedudukan sosial, politik dan ekonomi yang lebih tinggi dengan seseorang atau pihak yang berkedudukan sosial, politik dan ekonominya lebih rendah. Ikatan yang tidak simetris tersebut merupakan bentuk persahabatan yang berat sebelah (Wolf, 1983: 152-153).
Berdasarkan beberapa paparan pengertian di atas, maka kemudian terdapat satu hal penting yang dapat digarisbawahi, yaitu bahwa terdapat unsur pertukaran barang atau jasa bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pola hubungan patron-klien. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola hubungan semacam ini dapat dimasukkan ke dalam hubungan pertukaran yang lebih luas, yaitu teori pertukaran. Adapun asumsi dasar yang diajukan oleh teori ini adalah bahwa transaksi pertukaran akan terjadi apabila kedua belah pihak dapat memperoleh keuntungan-keuntungan dari adanya pertukaran tersebut.
Sebagai seorang ahli yang banyak berkecimpung dengan tema-tema seputar patronase, Scott memang tidak secara langsung memasukkan hubungan patron-klien ke dalam teori pertukaran. Meskipun demikian, jika memperhatikan uraian-uraiannya mengenai gejala patronase, maka akan terlihat di dalamnya unsur pertukaran yang merupakan bagian terpenting dari pola hubungan semacam ini. Menurut pakar ilmu politik Universitas Yale Amerika Serikat ini, hubungan patron-klien berawal dari adanya pemberian barang atau jasa yang dapat dalam berbagai bentuk yang sangat berguna atau diperlukan oleh salah satu pihak, bagi pihak yang menerima barang atau jasa tersebut berkewajiban untuk membalas pemberian tersebut (Scott, 1992: 91-92).

B. PEMBAHASAN

Menurut James Scott agar hubungan patronase dapat berjalan dengan mulus, maka diperlukan unsure-unsur tertentu yaitu :

1. Apa yang diberikan oleh satu pihak adalah merupakan sesuatu yang berharga dimata pihak lain, baik yang berupa pemberian barang maupun jasa (pekerjaan) dan bias dalam berbagai macam ragam bentuk pemberian.
2. Adanya hubungan timbale balik, dimana pihak yang member bantuan merasa mempunyai suatu kewajiban untuk membalas pemberian tersebut.

Ditambahkan Scott, bahwa adanya unsure timbale balik maka hubungna patronase dapat dibedakan dengan hubungan yang bersifat pemaksaan (coercion), oleh karena itu hubungan patronase perlu didukung oleh norma – norma masyarakat yang memberikan peluang kepada klien untuk melakukan penawaran, artinya apabila salah satu pihak merasa dirugikan maka dia dapat menarik diri tanpa dikenal sanksi apapun.

Berhubungan dengan birokrasi Megara maju dengan Negara berkembang, saat ini dapat di katakan bahwa team sukses globalisasi benar-benar sukses dalam menjalankan misinya. ”Jelas misi globalisasi ini adalah misi kapitalis”, sebab tidak membedakan target konsumen halnya negara maju dan negara berkembang. Untuk negara maju halnya Amerika, Jepang, Ingris dan sekutunya yang lain tentu mereka hanya akan bersaing dalam hal pengembangan produk dan kwalitas produk akan tetapi dalam hal keuntungan finansial justru negara berkembanglah yang menjadi target konsumen daripada negara maju tersebut. halnya indonesia dan banyak negara berkembang lainnya.

Di Indonesia sistem feodal kolonialisme ternyata masih berlaku, hamlike dalam Downing (ed), 1990 : 224 (blog spot fajar jur) mengatakan ”ketidak seimbangan ini lalu menjadi masalah krusial dalam hubungan internasional antara negara pinggir yang masih mengalami postcolonial subject.

Nilai dan ide baru sebagai bentuk budaya baru di bawa dan di perkenalkan kepada negara pinggir oleh negara inti semenjak kolonialisme masih eksis sampai masa-masa setelah mereka angkat kaki di lestarikan terus sampai sekarang adalah sebagai berikut :

1. dalam hal kebutuhan teknologi dan informasi masyarakat konsumen di hadapkan dengan patokan harga mau tidak mau beli, dan salah satu motifasinya selain kebutuhan adalah pristise.Intinya negara berkembang seperti Indonesia adalah Negara konsumen sebagai lahan subur bagi negera maju. Tidak hanya dalam hal kebutuhan dan pristise, budaya patronase yang dulunya hanya berkembang di kalangan para tokoh halnya ulama, priayi, penguasa dan lain sebagainya, saat ini berkembang pada tingkat kapitalisme global. Menurut Marx dan Enggels (Story (ed), 1994 : 196) dengan penguasaan kekuatan material masyarakat kelas yang berkuasa, akan menguasai kekuatan intelaektual
2. Artinya ide-ide kelas yang berkuasa (ruling class) akan sekaligus menjadi ide-ide yang berkuasa (ruling ideas). Sehingga kemudian gramci (Story (ed), 1994:215), menyatakan bahwa kelas sosial menjalankan kekuasaannya melalui dua metode yaitu : melaui dominasi dan kepemimpinan moral dan intelektual, yang di istilahkan oleh gramsci sebagai hegemoni
3. Dulu, masyarakat ketika akan memilih informasi atau sebuah pemahaman yang tepat maka pilihannya akan terbatas pada dengan siapa seseorang atau masyarakat tersebut mengkultuskannya (budaya patrone). Tokoh masyarakat, ulama, priayi dan penguasa adalah pilihan ketika akan memilih dan melakukan sesuatu. Dan di lain sisi masyarakat dulu (katakanlah masyarakat rezim Soeharto) masih terbebani dengan imperatif-imperatif lama yang menganjurkan pilihan-pilihan terbatas. Dan saat ini masyarakat telah menjadi generasi multitasking. Generasi multitasking sebuah generasi yang tidak lagi tebebani dengan imperatif-imperatif lama.

Patron tidak diberatkan lagi oleh seseorang bahkan wilayah, akan tetapi patron di hadapkan dengan pilihan-pilihan dan suguhan yang setiap hari lewat dalam kehidupan masyarakat.

Contoh-contoh Patronase

1. Patronase bisnis

Krisis keuangan global yang bersumber dari Amerika Serikat, menjalar kemana-mana. Termasuk ke Indonesia. Indeks Bursa Efek Indonesia terus melorot. Rupiah terus tertekan, meski Bank Indonesia tak henti melakukan intervensi.

Di tengah situasi seperti ini, tak ada jalan lain, kecuali negara harus mendorong profesionalisme kelas menengah di sektor industri, terutama sektor riil. Ekonomi berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pertanian, kemaritiman, industri kreatif dan usaha kecil-menengah (UKM), harus diperkuat agar Indonesia tak oleng dan tumbang oleh imbas krisis keuangan AS secara masif.

Dalam kunjungannya ke Korea Selatan tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan untuk menciptakan keadilan dan pemerataan, oligarki ekonomi harus dicegah. Karena itu, pemerintah akan mengatur 'dwifungsi' politisi, yakni pejabat yang melakukan bisnis.
Umumnya, 'dwifungsi' politisi membangun patronase bisnis. Mereka memanfaatkan adagium bahwa politik dan bisnis, khususnya saat negara industri baru Asia mulai membangun ekonominya, adalah sesuatu yang tak terpisahkan.

Layaknya sekeping mata uang logam, pembentukan elite bisnis di Indonesia juga berjalan seiring dengan perkembangan kekuasaan politik yang ada. Melalui program Benteng di masa Presiden Soekarno, konglomerasi Orde Baru, hingga kebijakan proteksionisme, adalah bukti eratnya hubungan itu. Tak heran jika kemudian praktik patronase bisnis ini makin marak.

Pola-pola patronase bisnis inilah yang sebenarnya menjadi 'ketakutan' Presiden SBY. Karena patronase ini menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. "Anjloknya indeks harga saham di pasar modal, mencerminkan masih rapuhnya sektor finansial karena tak ditopang sektor riil yang tangguh," kata Hendri Saptarini, ekonom Econit.

Patronase bisnis selama ini hanya membuat pengusaha atau kelas menengah tak kompetitif. Orde Baru membuktikan patronase bisnis telah menghancurkan ekonomi bangsa. Ironisnya, dia muncul dalam wujud lain di era reformasi. Sehingga muncul kecenderungan, kelas menengah ke atas semakin kaya dan kuat, sementara kelas bawah makin miskin dan rentan.
Berkembangnya praktik patronase bisnis di era Orba dan era reformasi menunjukkan sentralisasi ekonomi dan politik menjadikan negara sebagai aktor sentral. Negara tumbuh menjadi otoriter birokratis rente yang melahirkan para pemburu rente di kalangan pejabat pemerintah. Sebaliknya, masyarakat sipil menjadi semakin lemah.

Selain itu, diskriminasi ekonomi juga terjadi. Pengusaha yang memiliki patron politik umumnya lebih mudah dalam mengembangkan bisnisnya.
SBY-JK pasti belum lupa bahwa keinginan negara untuk membentuk kelompok pemodal domestik yang diharapkan mampu menggantikan posisi keduanya ternyata banyak yang gagal. Hal yang serupa terjadi pada masa Orde Baru. Keterlibatan negara dalam pembentukan pengusaha-pengusaha domestik tersebut justru berakibat semakin berkembangnya praktik-praktik patronase bisnis.

Patronase bisnis semakin berkembang pesat ketika Indonesia mendapatkan pemasukan yang berlimpah dari terjadinya boom minyak bumi. Masa ini disebut sebagai masa kejayaan patronase bisnis di Indonesia.

Yoshihara Kunio, akademisi ahli kajian Asia Tenggara, menyebutnya sebagai erzats capitalism atau kapitalisme semu. Dan, itu terbukti belakangan, saat patronase bisnis menumpukan beban di pundah bangsa dalam bentul BLBI Rp 650 triliun, sebuah angka yang fantastis.

Kini dengan krisis keuangan global, patronase bisnis wajib diakhiri. Kelas menengah tak boleh lagi mengulangi kesalahan yang sama dengan era Orde Baru. Sebab hanya keledai dungu yang terantuk batu yang sama untuk kedua kali. Apalagi sampai tiga kali.

2. Patronase agama

Melemahnya nilai-nilai tradisional agama, dalam kehidupn politik local tergambar pada data yang diperoleh dalam studi lapangan yang menggambarkan bahwa terdapat kecenderungan dari jamaah tarekat Qadiriyah dalam menentukan sikap politiknya berdasarkan pandangan teologis bahwa Hak menentukan pilihan partai bukan kewajiban agama (62%), maka bisa saja terjadi perbedaan antara sikap politik elite agama dengan para jamaahnya dalam afiliasi politiknya, Sisi lain dalam studi ini ditemukan bahwa ketika peneliti mentabulasi silang antara sikap teologis dengan kecenderungan afiliasi politik tarekat Qadiriyah ditemukan kecenderungan jamaah untuk tidak mengikuti pilihan politik annangguru, tidak bisa dilepaskan dari warisan pendidikan politik Orde Baru ketika itu yang sangat dominan melakukan depolitisasi Islam, bahwa amalan tarekat itu harus dibedakan dan dipisahkan dari pilihan politik, sementara Pemilu itu adalah hak pribadi masing-masing warga negara untuk menentukan pilihan politiknya.

Klarifikasi terhadap data faktual yang ditemukan di lapangan lalu kemudian di-cross check melalui wawancara mendalam ditemukan bahwa pilihan partai jama’ah tarekat tergolong rasional karena di samping kondisi politik di era reformasi membuka ruang yang lebar dalam hal partisipasi politik rakyat, namun tidak menutup kemungkinan terjadi money politic dalam pemungutan suara, karena rentangnya persoalan sosial dan ekonomi yang dialami oleh kebanyakan umat Islam.

Ikatan emosional yang merupakan basis solidaritas sosial penganut tarekat mulai melemah ketika kepentingan politik memasuki wilayah tarekat, hal ini dapat terjadi disebabkan oleh karena pertimbangan politik lebih didasarkan kepada hal-hal yang lebih pragmatis-rasional, sehingga ummat (jamaah tarekat) sebagai kesatuan sosial mencair bersamaan dengan semakin pudarnya ikatan emosi keagamaan karena konsep politik yang secara ketat diturunkan dari konsep keagamaan (tidak ada pemisahan antara agama dan politik) kini mulai bergeser dengan dasar-dasar pertimbangan yang lebih rasional oleh berbagai kepentingan sosial dan ekonomi.

3. Patronase teknologi

Contohkanlah iklan televisi, dia hadir dalam bentuk kreativitas yang menjual dan kedua menyatakan keunggulan sebuah produk. Sebelum munculnya telephone seluler /HP, pilihan masyarkat menengah adalah telpone rumah (Telkom), dan sudah sangat beruntung jika masyarakat kebawahpun menggunakan telepone rumah tersebut. Selain telephone rumah tidak ada pilhan lain. Hanya masyarakat menengah keatas dan elite yang dapat memilih menggunakan telpone rumah atau HP atau bahkan kedua-duanya. Namun saat ini, hingga tukang becak sampai dengan exsekutif elite memiliki pilihan untuk menggunakan alat komunikasi tersebut.

Tidak ada yang salah dengan penggunakan alat komunikasi tersebut, artinya kita masyarakat modern memang semakin di mudahkan. Akan tetapi justru yang harus di perhatikan khususnya oleh masyarakat dan penguasa khusususnya adalah bagaimana mengkonsumsi alat sendiri dan bikinan sendiri dan tentunya ini akan menguntungkan negara sendiri. Bukan justru malah menguntungkan Negara-negara berkembang kapitalis seperti Amerika.

Suguhan-suguhan beberapa iklan yang setiap hari lewat dalam stasiun televisi ternyata telah menggiring masyarakat dalam sebuah konsumenristis pada sebuah produk yang justru sebenarnya mengajak mereka untuk mengkultus sebuah Negara kapitalis. Patrone (pengkultusan) tersebut bisa dilihat dalam salah satu iklan oli top one dengan simbol oli nomor satu Amerika. Sebenarnya bukan terletak pada oli mesin tersebut, justifikasi oli nomor satu Amerika seakan menunjukkan bahwa Amerika memiliki produk-produk yang unggul di bandingkan dengan negara lain.


4. Patronase dalam bidang pertanian

Meminjam kembali kerangka pemikiran Suryadi A Radjab (Praktek Culas Bisnis Gaya Orde Baru, 1999) terdapat paling tidak sepuluh faktor yang menyebabkan berkembangnya juga praktik patronase bisnis dalam bidang kelautan dan perikanan. (Baca juga: Achmad Ali, 1999) adalah sebagai berikut:

1. Dominasi negara dalam perekonomian yang ditandai oleh berkembangnya kalangan birokrat-politik/pejabat terutama militer, yang menyebabkan mereka mengembangkan kepentingannya sendiri (pribadi). Mereka tidak hanya bekerja secara profesional dalam bidang politik dan militer, akan tetapi meluas pada masalah bisnis. Akibatnya, menimbulkan kekaburan antara birokrasi, politik dan ekonomi di tangan birokrat-politik. Hal inilah yang mengakibatkan karakteristik politik dan birokrasi Indonesia menjadi tunduk pada kepentingan bisnis yang mereka bangun sendiri.

2. berkembangnya kepentingan-kepentingan pribadi yang mendorong kalangan birokrat-politik menggunakan akses negara (baca: proyek-proyek kelautan, kontrak pasir laut, lisensi kapal ikan, konsensi dan hak monopoli) untuk dibagi-bagikan kepada kelompok bisnisnya. Hubungan ini merupakan bentuk kolusi antara birokrat politik yang menguasai akses negara untuk kepentingan pribadinya dengan pengusaha yang membutuhkan akses untuk membangun kerajaan bisnisnya di sektor kelautan dan perikanan.

3. terjalinnya hubungan politik, birokrasi dan ekonomi yang diperuntukkan bagi kepentingan patronase bisnis, sehingga kekayaan negara (APBN dan perusahaan-perusanaan negara, BUMN) dipergunakan guna membiayai investasi mereka (birokrat yang berbisnis dengan pengusaha klien). Berawal dari sinilah kekayaan negara menjadi "sapi perah" mereka dalam membangun kerajaan bisnis dalam sektor kelautan dan perikanan serta memperkaya diri.

4. bobroknya kekuasaan negara dalam mencampuri dan mengatur perekonomian, sehingga menjadi rebutan kalangan birokrat politik. Umpamanya, mereka memanfaatkan peluang ini untuk menghegemoni perusahaan-perusahan swasta yang bergerak dalam bidang perikanan atau penambangan pasir laut. Penanaman modal dan perluasan usaha di sektor ini dapat berlangsung bukan karena kemampuan swasta dalam berinvestasi atau memenangkan kompetisi. Melainkan ditentukan oleh kekuatan hubungan kalangan swasta dengan birokrat politik yang menjadi patronnya dan memegang kekuasaan serta mempengaruhi kebijakan pembangunan di sektor itu.

5. perkembangan usaha sangat bergantung pada posisi patron-politik. Kalangan pengusaha akan berkembang pesat usahanya apabila patron-politiknya adalah pejabat yang berkuasa atau punya akses yang kuat terhadap lingkaran kekuasaan istana. Bila jabatan patronnya berakhir, maka berakhir pula usahanya. Bahkan, bila patronnya dijerat hukum (dipenjara), maka pengusaha klien ikut terseret atau dikorbankan sebagai tumbal sang patron. Dengan demikian yang mereka kejar dalam memupuk bisnis adalah untung sebesar-besarnya dalam tempo yang sesingkat mungkin.

6. dengan motif mengejar untung besar dalam tempo yang singkat itu mengakibatkan mereka berkepentingan untuk mempengaruhi penentuan proteksi tarif ekspor dan impor, penyusunan perundang-undangan seperti UU Perikanan yang baru No 31 Tahun 2004, UU Pengelolaan Sumberdaya Air, ataupun hak monopoli perdagangan komoditi hasil laut.

7. berhubung tidak adanya kepastian politik dalam hal bisnis di Indonesia, karena mudah jatuh dan digesernya sejumlah pejabat patron yang mengakibatkan juga bisnis mereka anjlok --, maka kalangan pengusaha dan investor tidak berkepentingan untuk berinvestasi dalam bisnis produktif jangka panjang terutama sektor riil perikanan. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan kalangan pengusaha klien pada birokrat politik sehingga dunia usaha perikanan berada di tengah kerawanan politik. Dampaknya, usaha mereka tidak dapat membangun kepercayaan usaha (business confidence) untuk jangka panjang. Penyebabnya adalah sifat kebobrokan politik bisnis yang bergantung pada patron politik yang sewaktu-waktu akan jatuh (diganti).

8. rawannya mengembangkan usaha menjadikan posisi Indonesia sebagai negeri berisiko (country risk) tinggi. Jatuhnya patron politik tidak saja mengakibatkan runtuhnya kerajaan bisnis para pengusaha klien, akan tetapi usaha mereka berpeluang diambil alih oleh pihak yang berkuasa berikutnya.

9. dikuasai dan didirikannya perusahaan-perusahaan dagang ataupun konsultan oleh para pejabat dan politisi, yang lebih berorientasi untuk memperkaya diri. Moralitas mereka bukan diarahkan untuk menciptakan perusahaan yang maju dan tangguh, melainkan untuk memperkaya diri dan disembah-sembah. Bagi mereka yang penting adalah mendapatkan uang sebanyak mungkin tanpa menghiraukan bagaimana caranya semua itu diperoleh.

10. keterlibatan pejabat dalam bisnis yang kian memperluas kepentingan mereka. Mereka tidak saja melibatkan kroni bisnisnya, melainkan juga keluarganya. Keterlibatan mereka bukan karena mereka pengusaha profesional, justru mereka merupakan keluarga pejabat yang menguasai akses politik yang berkaitan dengan bisnis. Bahkan di antara mereka saling berebut untuk memperluas bisnis dengan watak yang rakus.

Prioritas
Kesepuluh faktor penyebab pola patronase bisnis inilah yang mengakibatkan sektor kelautan dan perikanan sulit berkembang. Problem perizinan palsu, illegal fishing, penambangan pasir ilegal dan rawannya keamanan di laut dan sebagainya tidak luput dari sulitnya mengatasi hal ini. Mengatasi hal ini harusnya menjadi fokus arahan visi pembangunan kelautan dan perikanan, prioritas Program 100 Hari dan satu tahun dari MenKP Kabinet Indonesia Bersatu.
Apabila, MenKP gagal mengatasi hal ini, maka pencabutan 141 izin kapal asing hanya bersifat temporer dan tidak menyelesaikan akar permasalahan yang sebenarnya.


C. KESIMPULAN

1. Dalam hubungan Patron-Klien dapat dimaknai dengan 2 batasan analisa antara lain :
a. Patron-Klien berfokus pada pertukaran yang tidak setara (Superior dan Inferior) dan didasarkan pada kepemilikan modal (pilihan rasional)
b. Patron-Klien berfokus pada criteria askripsi dalam system status masyarakat. Artinya bahwa apabila seseorang individu adalah bangsawan maka otomatis berstatus sebagai patron dan sebaliknya apabila individu adalah rakyat jelata/budak/bukan bangsawan maka ia berstatus klien.
2. Tujuan dasar dari hubungan Patron-Klien sebenarnya merupakan penyediaan jaminan sosila jika dalam kehidupan petani maka jaminan subsistansinya dan keamanan dari klien akan mempertimbangkan hubungannya dengan Patron akan menjadi tidak adil atau eksploitatif. Hubungan Patron-Klien ini akan langgeng apabila kedua belah pihak menemukan kesesuian dan manfaatnya.

3. Sebagai bentuk relasi antarmanusia dan antarkelompok manusia yang bersifat sosial-kultural, ternyata dalam kenyataannya, praktek patronase tak terlepas dengan kepentingan ekonomi dan politik. Melalui perlindungan yang diberikan, patron berharap mendapatkan dukungan ekonomi dan politik secara langsung. Namun demikian, jika tidak mendapatkan apa-apa yang bersifat ekonomi dan politik dari kliennya, maka patron tidak akan memberikan perlindungan apa pun.


DAFTAR PUSTAKA

1. (Penulis adalah peneliti CIDES Indonesia/Ocean Watch Institute, Jakarta).
2. Safrudin B.L.,2008,Dinamika Ikatan Patron-Klien (suatu tinjauan sosiologis).
3. Usman, Sunyoto. 2004. Sosiologi; Sejarah, Teori dan Metodologi. Yogyakarta: Center for Indonesian Research and Development [CIReD]. Cetakan Pertama.
4. Scott, James C. 1983. Moral Ekonomi Petani. Jakarta: LP3S. Cetakan Kedua.
5. Musafir Pababbari, 2010, Patronase Agama dalam kehidupan politik local (melemahnya nilai-nilai tradisional agama masyarakat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar