Suatu ketika saya berniat silaturahmi ke teman kuliah. Hal itu sudah saya utarakan pada teman tersebut sebelumnya. Rencananya setelah selesai kuliah, kita langsung menuju ke rumah teman tersebut.
Ya, saya mempunyai keinginan untuk lebih menjalin silaturahmi dengan teman-teman. Yakni dengan cara diantaranya berkunjung ke rumah. Di sana bila sudah minum airnya, berarti sudah sampai ke sana.
Setelah selesai kuliah, kita berangkat ke rumahnya. Karena tadi berangkatnya ke kampus bawa kendaraan masing-masing, maka perginya ke rumah teman beriring-iringan.
Sesampai di sana, rumahnya terlihat gelap. Hanya lampu di jalan dan halaman depan saja yang menyala. Sepertinya tidak ada orang. Teman membuka sendiri pintu gerbang dan memasukkan mobilnya ke garasi.
Saat teman melakukan hal itu, saya berdiri menunggu di teras. Saya lihat di garasi ternyata sudah ada mobil lain yang telah terparkir. Dan beberapa sepeda motor juga. Halamannya cukup luas dan asri. Tanamannya seperti dirawat dengan benar. Rumahnya bagus dan bertingkat. Melihat ini semua, saya yakin teman saya termasuk sukses. Cukup makmur.
Saat melihat-lihat itu semua, pundah saya ditepuk. Karena terlalu asyik, saya sampai terkejut. “Mari masuk ke dalam,” katanya. “Wah, kamu sukses ya. Kamu kecukupan materi,” kata saya. “Alhamdulillah,” dia menjawab.
Dia mencari-cari kunci dari tas. Dirogohnya saku tas, sehingga sekarang tangannya membawa sebuah kunci. “Istri dan anak-anak lagi liburan ke desa, mumpung liburan panjang. Sudah semingguan di sana. Minggu kemarin saya antar. Saya tak bisa ikut, karena di samping ada kerjaan, juga ada kuliah kan? Besok pagi saya berangkat menyusul. Karena Senin depan sudah masuk sekolah lagi,” katanya. Ya, kita memang kuliah di hari Sabtu dan Minggu.
Setelah pintunya terbuka, sebelum melangkah masuk dia berucap salam, “Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Saya heran melihat dia melakukan ini, bukankah sudah jelas rumahnya kosong. Mengapa harus mengucap salam?
Masuklah kita ke rumahnya. Saya duduk di sofa dan memperhatikan perabotan rumahnya. Ya, jelas dia terlihat cukup berhasil dalam entah pekerjaan atau bisnisnya. Mulailah kita ngobrol-ngobrol.
Saat jeda ngobrol karena sepertinya sudah kehabisan topik, saya teringat kelakuan dia yang bersalam ketika masuk ke rumah meski kosong. Saya tanyakan kenapa dia melakukan hal itu.
“Hahaha… kamu cermat melihat sesuatu atau selalu ingin tahu, Suf?” katanya becanda. “Penasaran saja,” jawab saya sekenanya.
“Orang tua selalu mengingatkan saya untuk selalu mengucap salam sewaktu masuk ke rumah kita. Katanya itu akan banyak mendatangkan rejeki. Katanya ada hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah.”
“Dari Abu Umamah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Tiga orang akan dijamin oleh Allah , jika ia hidup Allah akan mencukupkan kebutuhan dan rezekinya, dan jika meninggal Dia akan memasukkan ke dalam surga. Salah satu dari 3 orang itu adalah orang yang memasuki rumahnya, lalu mengucapkan salam, maka ia berada dalam jaminan Allah.”
Dia diam, seperti mencerna haditsnya. Seperti bisa membaca pikiran saya yang melihat kesuksesannya dari apa yang dimilikinya, dia berkata, “Mungkin karena itu, saya sepertinya mendapat rejeki yang selalu mengucur deras. Tentu saja tanpa menisbikan kerja keras, keuletan, kegigihan dan kemampuan saya, anugerah Tuhan berupa rejeki-rejeki yang selalu datang itu membuat saya sukses seperti ini.”
Saya menyimak kata-katanya dengan teliti. Dan saya senang dengan silaturahmi ini, karena mendapat sebuah rahasia rejeki lagi. Rahasia yang sangat mudah bahkan remeh, tapi kita sering mengabaikannya. Saya tersenyum sewaktu pulang ke rumah. Dan bertekad juga untuk mengamalkannya
Tampilkan postingan dengan label English2 (tulisan 5). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label English2 (tulisan 5). Tampilkan semua postingan
Sabtu, 21 Mei 2011
Langganan:
Postingan (Atom)