3. Metode Penelitian.
Dalam penelitian ini menggunakan desain kausal untuk menganalisis hubungan antara suatu variabel dengan variabel lainnya ( Umar, 2001 63)Populasi pada penelitian ini adalah seluruh perusahaan manufaktur bidang yang terdaftar di bursa efek Indonesia. Dalam hal ini peneliti memilih perusahaan publik yang bergerak diindustri manufaktur dengan pertimbangan banyaknya sampel yang dapat diperoleh dan keandalan biaya(manfaat) biaya pajak tangguhan yang disajikan. Industri lain, misalnya perbankan, terlalu banyak dipengaruhi oleh regulasi pemerintah. Populasi dalam penelitian in berjumlah 151 perusahaan manufaktur (Indonesia Capital Market Directory, 2008).
Adapun kriteria pengambilan sampel yang digunakan adalah:
1. perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI dan mempublikasikan laporan keuangan auditan secara konsisten dan lengkap dari tahun 2005 sampai 2007. Namun tidak keluar (delisting) dari BEJ selama periode penelitian (2005– 2007)
2. Laporan keuangan menggunakan mata uang Indonesia dan periode berakhirnya laporan keuangan per 31 Desember.
3. Perusahaan tidak mengalami kerugian dalam laporan keuangan umum dan laporan keuangan pajak selama tahun pengamatan. Alasannya karena kerugian dapat dikompensasi kemasa depan menjadi pengurang biaya pajak tangguhan
4. Perusahaan manufaktur yang menyajikan laba perusahaan dilaporan keuangan tidak memiliki fluktuasi yang terlalu rendah dan terlalu tinggi.
Dalam penelitian variabel independen yakni perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal (book-tax differences) sebagai proksi discretionary accrual merupakan selisih antara laba akuntansi dan laba fiskal Variabel book-tax differences merupakan variabel moderasi yang mewakili subsampel perusahaan dengan perbedaan besar positif, dan perbedaan besar negatif. Seluruh variabel penelitian PTBI t+1 dan PTBI t dibagi dengan aset total rata-rata.
4. Metode Analisis Data.
4.1 Uji Asumsi Klasik
Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis regresi sederhana dan regresi berganda dengan bantuan software SPSS or Windows. Penggunaan metode analisis dalam regresi dalam pengujian hipotesis terledih dahulu diuji apakah model tersebut telah memenuhi asumsi klasik atau tidak. Pengujian asumsi terdiri dari uji normalitas, uji multikolinearitas, uji autokorelasi, dan uji heterokedasitas.
a. Uji Normalitas.
Uji normalitas data bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Berdasarkan hasil uji statistik dengan model kolmogrov-smirnov. Diketahui nilai Asymp. Sig (2-tailed)untuk model 1 dan model 2 adalah 0.261 dan 0,183. Dan keduanya lebih besar dari 0,05.
b. Uji Multikolinieritas
Uji Multikolonieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antara antara variabel independen. Ada tidaknya multikolonieritas dapat dideteksi dengan melihat nilai tolerance dan variance inflation factor (VIF), Semua variabel independen memiliki nilai VIF<10 .Selain itu nilai toleransi untuk setiap variabel lebih besar dari 0,1(tolerance>0.1. Dengan demikian dapat pula disimpulakan tidak terjadi multikolinearitas dalam model regresi ini. Hasil perhitungan nilai tolerance menunjukkan variabel independen memiliki nilai tolerance lebih dari 0.10 yaitu 0.3830 yang berarti tidak terjadi korelasi antar variabel independen. Hasil perhitungan VIF juga menunjukkan hal yang sama dimana variabel independen memiliki nilai VIF kurang dari 10 untuk model 2 yaitu 2,608.
c. Uji Heteroskedastisitas
Uji ini memiliki tujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat grafik Scaterplot antar nilai prediksi variabel independen dengan nilai residualnya. Setelah diuji dengan grafik scatter plot dapat dilihat tidak ada pola yang jelas baik untuk model 1 maupun model 2. Serta titik menyebar diatas dan dibawah sumbu Y, maka dapat disimpulkan tidak terjadi heteokedastisitas pada model regresi ini.
d. Uji Autokorelasi
Uji ini bertujuan untuk melihat apakah dalam suatu model regresi linear ada korelasi antar kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pada periode t-1. Dari tabel Durbin Watson diperoleh nilan untuk model 1dan model 2 adalah sebesar 1,817 dan 1,742. Angka ini terletak diantara -2 dan +2.
4.2 Pengujian Hipotesis
Regresi linier sederhana dilakukan untuk mengestimasi persistensi laba akuntansi sebelum pajak. Regresi berganda merupakan pengembangan dari regresi sederhana dengan memasukkan koefisien laba yang membedakan tingkatan book tax diffrences. Analisis data dimulai dengan mengolah data dengan menggunakan Microsoft excel, selanjutnya dilakukan pengujian asumsi klasik dan pengujian menggunakan regresi linier sederhana dan berganda. Dari uji ANOVA atau F test, diperoleh F hitung sebesar 16,083 dengan tingkat signifikansi 0,000, sedangkan F tabel sebesar 2.320529 dengan signifikansi 0,05. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel independen berpengaruh secara simultan dan signifikan terhadap laba sebelum pajak yang akan datang. karena F hitung > F tabel (16,083 >2,320529) dan sig penelitian < 0,05 (0,000 < 0,05).
a. Persamaan Regresi
1) Persamaan regresi Model 1 (Regresi sederhana).
PTBI t+1 = 0.1130 + 0.547 PTBI t
Keterangan:
a) Konstanta sebesar 0.1130 menunjukkan bahwa apabila tidak ada variabel independen (PTBI) maka PTBI t+1 sebesar 0,1130.
b) PTBI t sebesar 0,547 menunjukkan bahwa setiap kenaikan PTBI t sebesar 1% akan diikuti oleh kenaikan PTBI t+1 sebesar 0,547 dengan asumsi variabel lain tetap.
2) Persamaan regresi Model 2 ( Regresi Berganda).
Berdasarkan tabel, didapatlah persamaan regresi sebagai berikut:
PTBI t+1= 0.007263 + 0.006878 LNBTD + 0.0280 LPBTD +0.701PTBI – 0.265 LNBTD*PTBI - 0.463 LPBTD*PTBI + ε
Keterangan :
a) konstanta sebesar 0.007263 menunjukkan bahwa apabila tidak ada variabel independen (LNBTD, LPBTD, PTBI, LNBTD*PTBI, dan LPBTD*PTBI= 0) maka PTBI t+1 sebesar 0.007263.
b) variabel LNBTD sebesar 0,006878 menunjukkan bahwa setiap kenaikan LNBTD sebesar 1% akan diikuti oleh kenaikan PTBI t+1 sebesar 0,006878 dengan asumsi variabel lain tetap.
c) variabel LPBTD sebesar 0,0280 menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1% pada LPBTD akan diikuti oleh kenaikan PTBI t+1 sebesar 0,0280 dengan asumsi variabel lain tetap.
d) variabel LNBTD*PTBI sebesar -0,265 menunjukkan bahwa setiap kenaikan LNBTD sebesar 1% akan diikuti oleh penurunan PTBI t+1 sebesar 0,265 dengan asumsi variabel lain tetap.
e) variabel LPBTD*PTBI sebesar -0.463 menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1% pada LPBTD akan diikuti oleh penurunan PTBI t+1 sebesar 0,463 dengan asumsi variabel lain tetap.
4.3 Pembahasan Hasil Penelitian
Nilai Adjusted R Square sebesar 0,461 Hal ini berarti bahwa 46,1 % variasi atau laba akuntansi sebelum pajak yang akan datang dapat dijelaskan oleh kelima variabel independennya, yaitu LNBTD, LPBTD, PTBI, LNPTBI*PTBI, dan LPBTD*PTBI., sedangkan sisanya sebesar 53.9 % dijelaskan oleh sebab-sebab lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian.Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa secara parsial variabel LPBTD, PTBI t berpengaruh signifikan terhadap laba akuntansi sebelum pajak satu periode kedepan, sementara itu variabel LPBTD*PTBI berpengaruh negatif signifikan terhadap laba sebelum pajak satu periode kedepan. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal yang diwakili oleh interaksi LPBTD*PTBI berpengaruh negatif terhadap persistensi laba. Persistensi laba ditunjukkan oleh pengaruh positif dari PTBI terhadap PTBI t+1 (laba sebelum pajak satu periode kedepan). Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Hanlon (2005) yang menemukan bahwa secara parsial PTBI dan LPBTD*PTBI t berpengaruh positif signifikan terhadap PTBI t+1 dan variabel LPBTD*PTBI mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap PTBI t+1. Dari hasil penelitian ini, variabel LNBTD dan variabel LPBTD tidak berpengaruh terhadap PTBI t+1.
5. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan adalah secara parsial variabel PTBI, LPBTD berpengaruh positif signifikan terhadap PTBI t+1. Sementara itu variabel LPBTD*PTBI t berpengaruh secara negatif signifikan terhadap PTBI t+1. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal berpengaruh secara negatif signifikan terhadap persistensi laba. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian terdahulu Hanlon (2005) yang menghasilkan kesimpulan bahwa perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal secara negatif berpengaruh signifikan terhadap persistensi laba.
Hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian terdahulunya yang dilakukan oleh Djamaluddin (2008) yang meneliti pada perusahaan perbankan yang menemukan bahwa secara parsial variabel LNBTD*PTBI t dan LPBTD*PTBI t tidak terbukti secara statistik mempunyai persistensi laba yang lebih rendah daripada perusahaan yang memiliki perbedaan kecil antara laba akuntansi dan laba fiskal. Hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya regulasi khusus tentang pelaporan pajak perbankan menyebabkan perbedaan dalam pengakuan item-item perbedaan temporer. Secara simultan, dapat diambil kesimpulan semua variabel yang digunakan dalam variabel penelitian berpengaruh positif signifikan terhadap laba sebelum pajak satu periode kedepan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Djamaluddin (2008) dan Hanlon (2005).
5.2 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain:
a. penelitian ini hanya mengambil perusahaan manufaktur sebagai sampel dan pengambilan sampelnya tidak random sehingga tidak dapat dijadikan sebagai dasar generalisasi Hal ini dikarenakan penelitian ini hanya memfokuskan pada perusahan yang menghasilkan laba.
b. periode pengamatan dalam penelitian ini terbatas karena hanya mencakup tahun 2005-2007
5.3 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti mencoba memberikan saran baik bagi pihak perusahaan, calon investor dan investor serta peneliti selanjutnya.
a. Bagi Perusahaan.
Untukmeningkatkan kepercayaan pemegang saham terhadap perusahaan, maka perusahaan harus mampu menunjukkan kinerja perusahaan dan menyampaikan informasi yang relevan dan reliabel kepada investor mengenai perkembangan perusahaan, tanpa harus dilakukannya manajemen laba. Karena indikasi manajemen laba dapat dilihat dari perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal yang dilaporkan perusahaan dengan yang dilaporkan pajak.
b. Bagi Investor dan Calon Investor.
Untuk mengetahui kinerja perusahaan dari laba yang dihasilkan perusahaan serta item pendukung lainnya di dalam laporan keuangan, sebelum melakukan investasi sebaiknya para investor maupun calon investor mencari tahu mengenai profil perusahaan. Profil perusahaan dapat diperoleh melalui Bursa Efek Indonesia dan Instansi Pemerintah yaitu Bapepam sebagai pihak yang menentukan kebijakan di Bursa Efek Indonesia dalam menjamin keakuratan data informasi keuangan
c. Bagi Peneliti Selanjutnya.
Peneliti selanjutnya disarankan untuk mengambil sampel perusahaan baik yang mengalami keuntungan maupun kerugian dalam usahanya. Peneliti selanjutnya juga diharapkan untuk menambah tahun pengamatan sehingga hasil yang diperoleh lebih dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan bagi shareholders.
REFERENCES
Sonya Erna Ginting Dan Syamsul Bahri Trb Fakultas ekonomi Universitas Sumatera Utara
Tampilkan postingan dengan label RISET AKUNTANSI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RISET AKUNTANSI. Tampilkan semua postingan
Senin, 05 April 2010
Jurnal Internasional - tugas II
2. Tinjauan Data
2.1 Manajemen Laba.
Manajemen sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas kinerja perusahaan akan berupaya untuk menunjukkan kinerja yang baik. Kinerja suatu perusahaan dapat dilihat dari laba yang dihasilkan perusahaan melalui laporan keuangan. Dalam membuat laporan keuangan, terkadang manajemen memanfaatkan keleluasaan GAAP untuk memilih metode yang sesuai dengan perusahaan, sehingga sering timbul praktik manajemen laba dalam pelaksanaannya.
Definsi mengenai manajemen laba belum ada yang pasti. Banyak pendapat yang menyatakan pengertian manajemen laba berdasarkan sudut panadang masing-masing. Menurut Healey dan Walen dalam Kusuma (2006: 6) ditinjau dari sudut pandang badan penetapan standar menyatakan
Manajemen laba terjadi ketika manajemen menggunakan kebijakan dalam pelaporan keuangan dan dalam menyusun transaksi dan mengubah laporan keuangan serta menyesatkam stakeholder mengenai kinerja ekonomi perusahaan atau mempengaruhi contractual outcomes yang bergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan.
2.2 Laba Akuntansi Dan Laba Fiskal
Menurut PSAK 46 paragraf ketujuh laba akuntansi adalah laba atau rugi bersih selama satu periode sebelum dikurangi beban pajak. Sementara itu penghasilan kena pajak atau laba fiskal (taxable profit) atau rugi pajak (tax loss) adalah laba atau rugi selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan menjadi dasar penghitungan pajak penghasilan.
2.3 Perbedaan Antara Laba Akuntansi Dan Laba Fiskal
Dalam peraturan perpajakan di Indonesia mengharuskan penghitungan laba fiskal berdasarkan metode akuntansi yang menjadi dasar penghitungan laba akuntansi. Sehingga dalam pembuatan laporan keuangan tidak perlu melakukan dua kali pembukuan berdasarkan kedua tujuan pelaporan tersebut. Perbedaan antara laba akuntansi dengan laba fiskal ditandai dengan adanya koreksi fiskal atas laba akuntansi. Hampir semua perhitungan laba akuntansi yang dihasilkan harus mengalami koreksi fiskal untuk mendapatkan penghasilan kena pajak karena tidak semua ketentuan dalam standar akuntansi keuangan digunakan dalam peraturan perpajakan dengan kata lain banyak dari ketentuan perpajakan yang tidak sama dengan Standar Akuntansi Keuangan (Djamaluddin, 2008: 56), perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Perbedaan Tetap (Permanent Different)
Perbedaan tetap adalah merupakan suatu konsekuensi yang harus diterima bahwa hal tersebut harus dikeluarkan dari laporan laba rugi karena secara fiskal atau berdasarkan peraturan pajak tidak dapat dibebankan atau bukan merupakan penghasilan. Perbedaan tetap terjadi karena transaksi – transaksi pendapatan dan biaya diakui menurut akuntansi komersial dan tidak diakui menurut fiskal (Resmi, 2005: 333). Yang termasuk dalam perbedaan tetap ini adalah penghasilan bunga bank, dividen, dan penghasilan lain yang sifat pemungutan pajaknya final; dividen yang diterima oleh persroan terbatas, koperasi, yayasan, BUMN/ BUMD, bunga yang diterima oleh perusahaan reksadana, dan jenis penghasilan lain yang dikecualiakan dari objek pajak; pemberian imbalan dalam bentuk natura, sumbangan, biaya/ pengeluaran untuk kepentingan pribaidi pemilik dan untuk pengurang lain yang tidak diperbolehkan menurut fiskal (nondeductible expenses).
b. Perbedaan Sementara (Temporary Different)
Beda temporer merupakan perbedaan antara dasar pengenaan pajak (DPP) dari suatu aktiva atau kewajiban (Fiskal) dengan nilai tercatat aktiva dan kewajiban tersebut (Komersial), yang berakibat pada kenaikan atau bertambahnya laba fiskal periode mendatang atau berkurangnya laba fiskal periode mendatang, dimana pada saat nilai tercatat aktiva dipulihkan atau diselesaikan. Menurut Harnanto (2003: 113) perbedaan temporer yang mengakibatkan harus diakuinya aktiva dan atau kewajiban pajak tangguhan terjadi atau timbul apabila :
1) adanya penghasilan dan/atau beban yang harus diakui untuk penghitungan laba fiskal dan untuk penghitungan laba akuntansinya dalam periode berbeda,
2) bagian dari biaya perolehan dalam suatu penggabungan usaha, yang secara substansi merupakan suatu akuisisi, dialokasi kepada aktiva atau kewajiban tertentu berdasar nilai wajarnya dan penyesuaian atau perlakuan akuntansi demikian tidak diperkenankan oleh peraturan perpajakan,
3) goodwill atau goodwill negatif yang timbul dalam konsolidasi,
2.4 Penyebab Perbedaan Antara Laba Akuntansi Dan Laba Fiskal
Menurut Resmi (2005:331) penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal adalah karena terdapat perbedaan pengakuan prinsip; perbedaan metode dan prosedur akuntansi; perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya. Secara garis besar prinsip dasar akuntansi pajak penghasilan adalah sebagai berikut :
a. pajak penghasilan tahun berjalan yang kurang bayar atau terutang diakui sebagai Kewajiban Pajak Kini (Hutang Pajak) sedangkan yang lebih dibayar disebut Aktiva Pajak Kini (Piutang Pajak),
b. konsekuensi pajak mendatang yang dapat didistribusikan perbedaan temporer kena pajak diakui Kewajiban Pajak Tangguhan, sedangkan efek perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kerugian belum dikompensasikan diakui Aktiva Pajak Tangguhan,
c. pengukuran kewajiban dan aktiva pajak didasarkan peraturan pajak berlaku.
Perbedaan metode dan prosedur akuntansi menurut Resmi (2005: 331) adalah:
a. metode penilaian persediaan. Akuntansi komersial membolehkan memilih beberapa metode penghitungan harga perolehan persediaan. Sementara itu menurut perpajakan hanya memperbolehkan metode FIFO dan Average untuk penilaian persediaan.
b. metode penyusutan dan amortisasi. Akuntansi komersial memperbolehkan memilih metode penyusutan seperti metode garis lurus, jumlah angka tahun, saldo menurun, metode jumlah unit produksi dan lainnya. Sementara berdasarkan perpajakan hanya mengakui metode garis lurus dan saldo menurun untuk kelompok harta berwujud jenis non bangunan, sedangkan harta berwujud bangunan dibatasi hanya bisa menggunakan metode garis lurus
2.5 Persistensi Laba Akuntansi.
Persistensi laba akuntansi adalah revisi dalam laba akuntansi yang diharapkan di masa depan (expected future earnings) yang diimplikasi oleh laba akuntansi tahun berjalan (current earnings) (Pennman dalam Djamluddin, 2008: 57). Besarnya revisi ini menunjukkan tingkat persistensi laba. Inovasi terhadap laba sekarang adalah informatif terhadap laba masa depan ekspektasian, yaitu manfaat masa depan yang diperoleh pemegang saham.
Hanlon dalam Djamaluddin (2008) menyatakan bahwa masih terdapat beberapa pendapat yang mendukung dan menentang pernyataan mengenai apakah book-tax differences dapat mencerminkan informasi tentang persistensi laba. Pendapat yang mendukung berasal dari beberapa literatur analisis keuangan yang menyatakan bahwa naiknya laba yang dilaporkan oleh manajemen yang disebabkan oleh pilihan metoda akuntansi dalam proses akrual akan menyebabkan adanya perbedaan besar antara laba akuntansi dan laba fiskal. Djamaluddin (2008: 58) menyatakan bahwa kenaikan utang pajak tangguhan, yang mencerminkan laba akuntansi lebih besar daripada laba fiskal mengindikasikan kualitas laba semakin buruk. Sedangkan pendapat yang menentang bahwa book-tax differences dapat mencerminkan informasi tentang persistensi laba sekarang adalah adanya suatu penjelasan bahwa book-tax differences dapat dihasilkan melalui strategi tax-planning.
2.6 Kerangka konseptual.
Kerangka konseptual merupakan sintesis dari tinjauan teori dan tinjauan penelitain terdahulu. Variabel perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal merupakan variabel moderasi yang dapat mempengaruhi hubungan variabel dependen dan variabel independen menjadi positif atau negatif. Variabel laba sebelum pajak saat ini sebagai variabel independen serta variabel laba sebelum pajak yang akan datang sebagai variabel dependennya. Perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal sebagai variabel moderasi dapat mempengaruhi hubungan antara laba akuntansi sebelum pajak saat ini terhadap laba akuntansi sebelum pajak periode yang akan datang. Pengaruh yang diberikan dapat memperkuat atau memperlemah hubungan variabel independen terhadap variabel dependen.Persistensi laba merupakan suatu ukuran yang dapat menggambarkan kemampuan perusahaan dalam mempertahankan laba yang diperoleh sekarang dimasa depan.
2.7 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara yang harus diuji kebenarannya atas suatu penelitian yang dilakukan agar dapat mempermudah dalam menganalisis. Hipotesis penelitian ini adalah perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal berpengaruh terhadap persistensi laba satu periode kedepan baik secara parsial amupun simultan.
2.1 Manajemen Laba.
Manajemen sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas kinerja perusahaan akan berupaya untuk menunjukkan kinerja yang baik. Kinerja suatu perusahaan dapat dilihat dari laba yang dihasilkan perusahaan melalui laporan keuangan. Dalam membuat laporan keuangan, terkadang manajemen memanfaatkan keleluasaan GAAP untuk memilih metode yang sesuai dengan perusahaan, sehingga sering timbul praktik manajemen laba dalam pelaksanaannya.
Definsi mengenai manajemen laba belum ada yang pasti. Banyak pendapat yang menyatakan pengertian manajemen laba berdasarkan sudut panadang masing-masing. Menurut Healey dan Walen dalam Kusuma (2006: 6) ditinjau dari sudut pandang badan penetapan standar menyatakan
Manajemen laba terjadi ketika manajemen menggunakan kebijakan dalam pelaporan keuangan dan dalam menyusun transaksi dan mengubah laporan keuangan serta menyesatkam stakeholder mengenai kinerja ekonomi perusahaan atau mempengaruhi contractual outcomes yang bergantung pada angka akuntansi yang dilaporkan.
2.2 Laba Akuntansi Dan Laba Fiskal
Menurut PSAK 46 paragraf ketujuh laba akuntansi adalah laba atau rugi bersih selama satu periode sebelum dikurangi beban pajak. Sementara itu penghasilan kena pajak atau laba fiskal (taxable profit) atau rugi pajak (tax loss) adalah laba atau rugi selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan menjadi dasar penghitungan pajak penghasilan.
2.3 Perbedaan Antara Laba Akuntansi Dan Laba Fiskal
Dalam peraturan perpajakan di Indonesia mengharuskan penghitungan laba fiskal berdasarkan metode akuntansi yang menjadi dasar penghitungan laba akuntansi. Sehingga dalam pembuatan laporan keuangan tidak perlu melakukan dua kali pembukuan berdasarkan kedua tujuan pelaporan tersebut. Perbedaan antara laba akuntansi dengan laba fiskal ditandai dengan adanya koreksi fiskal atas laba akuntansi. Hampir semua perhitungan laba akuntansi yang dihasilkan harus mengalami koreksi fiskal untuk mendapatkan penghasilan kena pajak karena tidak semua ketentuan dalam standar akuntansi keuangan digunakan dalam peraturan perpajakan dengan kata lain banyak dari ketentuan perpajakan yang tidak sama dengan Standar Akuntansi Keuangan (Djamaluddin, 2008: 56), perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Perbedaan Tetap (Permanent Different)
Perbedaan tetap adalah merupakan suatu konsekuensi yang harus diterima bahwa hal tersebut harus dikeluarkan dari laporan laba rugi karena secara fiskal atau berdasarkan peraturan pajak tidak dapat dibebankan atau bukan merupakan penghasilan. Perbedaan tetap terjadi karena transaksi – transaksi pendapatan dan biaya diakui menurut akuntansi komersial dan tidak diakui menurut fiskal (Resmi, 2005: 333). Yang termasuk dalam perbedaan tetap ini adalah penghasilan bunga bank, dividen, dan penghasilan lain yang sifat pemungutan pajaknya final; dividen yang diterima oleh persroan terbatas, koperasi, yayasan, BUMN/ BUMD, bunga yang diterima oleh perusahaan reksadana, dan jenis penghasilan lain yang dikecualiakan dari objek pajak; pemberian imbalan dalam bentuk natura, sumbangan, biaya/ pengeluaran untuk kepentingan pribaidi pemilik dan untuk pengurang lain yang tidak diperbolehkan menurut fiskal (nondeductible expenses).
b. Perbedaan Sementara (Temporary Different)
Beda temporer merupakan perbedaan antara dasar pengenaan pajak (DPP) dari suatu aktiva atau kewajiban (Fiskal) dengan nilai tercatat aktiva dan kewajiban tersebut (Komersial), yang berakibat pada kenaikan atau bertambahnya laba fiskal periode mendatang atau berkurangnya laba fiskal periode mendatang, dimana pada saat nilai tercatat aktiva dipulihkan atau diselesaikan. Menurut Harnanto (2003: 113) perbedaan temporer yang mengakibatkan harus diakuinya aktiva dan atau kewajiban pajak tangguhan terjadi atau timbul apabila :
1) adanya penghasilan dan/atau beban yang harus diakui untuk penghitungan laba fiskal dan untuk penghitungan laba akuntansinya dalam periode berbeda,
2) bagian dari biaya perolehan dalam suatu penggabungan usaha, yang secara substansi merupakan suatu akuisisi, dialokasi kepada aktiva atau kewajiban tertentu berdasar nilai wajarnya dan penyesuaian atau perlakuan akuntansi demikian tidak diperkenankan oleh peraturan perpajakan,
3) goodwill atau goodwill negatif yang timbul dalam konsolidasi,
2.4 Penyebab Perbedaan Antara Laba Akuntansi Dan Laba Fiskal
Menurut Resmi (2005:331) penyebab perbedaan laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal adalah karena terdapat perbedaan pengakuan prinsip; perbedaan metode dan prosedur akuntansi; perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya. Secara garis besar prinsip dasar akuntansi pajak penghasilan adalah sebagai berikut :
a. pajak penghasilan tahun berjalan yang kurang bayar atau terutang diakui sebagai Kewajiban Pajak Kini (Hutang Pajak) sedangkan yang lebih dibayar disebut Aktiva Pajak Kini (Piutang Pajak),
b. konsekuensi pajak mendatang yang dapat didistribusikan perbedaan temporer kena pajak diakui Kewajiban Pajak Tangguhan, sedangkan efek perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kerugian belum dikompensasikan diakui Aktiva Pajak Tangguhan,
c. pengukuran kewajiban dan aktiva pajak didasarkan peraturan pajak berlaku.
Perbedaan metode dan prosedur akuntansi menurut Resmi (2005: 331) adalah:
a. metode penilaian persediaan. Akuntansi komersial membolehkan memilih beberapa metode penghitungan harga perolehan persediaan. Sementara itu menurut perpajakan hanya memperbolehkan metode FIFO dan Average untuk penilaian persediaan.
b. metode penyusutan dan amortisasi. Akuntansi komersial memperbolehkan memilih metode penyusutan seperti metode garis lurus, jumlah angka tahun, saldo menurun, metode jumlah unit produksi dan lainnya. Sementara berdasarkan perpajakan hanya mengakui metode garis lurus dan saldo menurun untuk kelompok harta berwujud jenis non bangunan, sedangkan harta berwujud bangunan dibatasi hanya bisa menggunakan metode garis lurus
2.5 Persistensi Laba Akuntansi.
Persistensi laba akuntansi adalah revisi dalam laba akuntansi yang diharapkan di masa depan (expected future earnings) yang diimplikasi oleh laba akuntansi tahun berjalan (current earnings) (Pennman dalam Djamluddin, 2008: 57). Besarnya revisi ini menunjukkan tingkat persistensi laba. Inovasi terhadap laba sekarang adalah informatif terhadap laba masa depan ekspektasian, yaitu manfaat masa depan yang diperoleh pemegang saham.
Hanlon dalam Djamaluddin (2008) menyatakan bahwa masih terdapat beberapa pendapat yang mendukung dan menentang pernyataan mengenai apakah book-tax differences dapat mencerminkan informasi tentang persistensi laba. Pendapat yang mendukung berasal dari beberapa literatur analisis keuangan yang menyatakan bahwa naiknya laba yang dilaporkan oleh manajemen yang disebabkan oleh pilihan metoda akuntansi dalam proses akrual akan menyebabkan adanya perbedaan besar antara laba akuntansi dan laba fiskal. Djamaluddin (2008: 58) menyatakan bahwa kenaikan utang pajak tangguhan, yang mencerminkan laba akuntansi lebih besar daripada laba fiskal mengindikasikan kualitas laba semakin buruk. Sedangkan pendapat yang menentang bahwa book-tax differences dapat mencerminkan informasi tentang persistensi laba sekarang adalah adanya suatu penjelasan bahwa book-tax differences dapat dihasilkan melalui strategi tax-planning.
2.6 Kerangka konseptual.
Kerangka konseptual merupakan sintesis dari tinjauan teori dan tinjauan penelitain terdahulu. Variabel perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal merupakan variabel moderasi yang dapat mempengaruhi hubungan variabel dependen dan variabel independen menjadi positif atau negatif. Variabel laba sebelum pajak saat ini sebagai variabel independen serta variabel laba sebelum pajak yang akan datang sebagai variabel dependennya. Perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal sebagai variabel moderasi dapat mempengaruhi hubungan antara laba akuntansi sebelum pajak saat ini terhadap laba akuntansi sebelum pajak periode yang akan datang. Pengaruh yang diberikan dapat memperkuat atau memperlemah hubungan variabel independen terhadap variabel dependen.Persistensi laba merupakan suatu ukuran yang dapat menggambarkan kemampuan perusahaan dalam mempertahankan laba yang diperoleh sekarang dimasa depan.
2.7 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara yang harus diuji kebenarannya atas suatu penelitian yang dilakukan agar dapat mempermudah dalam menganalisis. Hipotesis penelitian ini adalah perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal berpengaruh terhadap persistensi laba satu periode kedepan baik secara parsial amupun simultan.
Senin, 22 Februari 2010
“APAKAH ADA HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BAYI USIA 4 - 6 BULAN?”
“APAKAH ADA HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN
KEJADIAN DIARE PADA BAYI USIA 4 - 6 BULAN?”
Kejadian seperti ini terjadi lagi. Lagi-lagi karena minimnya pengetahuan para ibu muda yang awam mengenai perawatan bayi.
Sungguh disayangkan seorang ibu yang akan memiliki seorang bayi tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan untuk menciptakan penerus bangsa secara optimal.
Kasus seperti diare pada bayi masih dianggap sepele, sehingga mereka tidak menghiraukan kadar cairan dalam tubuh sang bayi yang semakin berkurang. Mereka pun tidak menghiraukan kadar asupan gizi yang masuk ketubuh mereka yang pada akhirnya akan diserap oleh anak balita mereka melalui air susu ibu (ASI).
PERLU DIKETAHUI :
Pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif pada bayi umur 0-6 bulan sangat berpengaruh terhadap frekuensi kejadian diare. Berdasarkan hasil pengamatan praktik lapangan, bayi yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama frekuensi terkena diare sangat kecil bahkan mulai minggu ke-4 sampai bulan ke-6. Keadaan ini menggambarkan seluruh produk ASI dapat terserap oleh system pencernaan bayi. Menurut survey pemberantasan penyakit diare tahun 2000 bahwa angka kesakitan atau insiden diare terdapat 301 per 1000 penduduk di Indonesia.
Angka kesakitan diare pada balita adalah 1,0 - 1,5 kali per tahun. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI tahun 2000, bahwa 10% penyebab kematian bayi adalah diare. Data statistik menunjukkan bahwa setiap tahun diare menyerang 50 juta penduduk Indonesia dan dua pertiganya adalah bayi dengan korban meninggal sekitar 600.000 jiwa (Widjaja, 2002).
Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian anak terutama di negara berkembang, dengan prakiraan sekitar 1,5 milyar episode dan 1,5 - 2,5 juta kematian tiap tahun. Sekitar 85% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan (Misnadiarly, 1995) Menurut laporan Dep.Kes RI, di Indonesia setiap anak mengalami episode diare 1,6 – 2 kali setahun (Dwipoerwantoro, 2003). Di bangsal gastroenterologi unit anak RSCM, FKUI angka kematian dengan penyakit diare sebanyak 20,3%. Angka kejadian dan kematian diare pada anak-anak di negara-negara
berkembang masih sangat tinggi, lebih-lebih pada anak-anak yang tidak mendapat ASI. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor nutrisi maupun non nutrisi pada ASI yaitu selain nilai gizi ASI yang tinggi juga di dalam ASI mengadung antibodi. Sel-sel darah putih, enzim, hormon, dan lain-lain (Suharjo,1992) .
Di bagian ilmu kesehatan anak FKUI/RSCM diare didefinisikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Hal ini banyak disebabkan oleh berbagai faktor yang diantaranya bakteri, virus, faktor lingkungan, faktor penyapihan dan higienis perorangan. Tetapi, dari bermacam-macam faktor itu yang paling banyak menyebabkan diare pada bayi adalah pada saat penyapihan, karena pada saat
ini bayi diberi susu formula atau makanan tambahan yang kurang higienis, oleh karena itu air susu ibu (ASI) yang merupakan makanan terbaik bagi bayi sangatlah perlu untuk diberikan pada bayi dengan diberikan ASI bayi akan banyak mendapat keuntungan salah satunya adalah zat-zat kekebalan yang terkandung di dalamnya, untuk melindungi dirinya dari penyakit-penyakit infeksi terutama penyakit diare (FKUI, 1985).
Diare dapat disebabkan oleh berbagai infeksi, selain penyebab lain seperti malabsorbsi. Diare sebenarnya merupakan salah satu gejala dari penyakit pada sistem gastrointestinal atau penyakit lain di luar saluran pencernaan, tetapi sekarang lebih dikenal dengan “penyakit diare”, karena dengan sebutan penyakit diare akan mempercepat tindakan penanggulangannya. Penyakit diare terutama pada bayi perlu mendapat tindakan secepatnya karena dapat membawa bencana bila terlambat (Ngastiyah, 1997).
Penyakit diare apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan beberapa komplikasi diantaranya yaitu terjadi dehidrasi, renjatan hipovolemik, hipokalemia, intoleransi laktosa sekunder, kejang dan kurang energi protein (FKUI, 1985).
Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian anak terutama di negara berkembang, dengan prakiraan sekitar 1,5 milyar episode dan 1,5 - 2,5 juta kematian tiap tahun. Sekitar 85% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan (Misnadiarly, 1995)
Menurut laporan Dep.Kes RI, di Indonesia setiap anak mengalami episode diare 1,6 – 2 kali setahun (Dwipoerwantoro, 2003). Di bangsal gastroenterologi unit anak RSCM, FKUI angka kematian dengan penyakit diare sebanyak 20,3%. Menurut survey pemberantasan penyakit diare tahun 2000 bahwa angka kesakitan atau insiden diare terdapat 301 per 1000 penduduk di Indonesia.
Dengan demikian supaya dapat memberantas sunguh-sungguh penyakit diare diperlukan suatu komponen pengelolaan kasus diare yang tepat yaitu program pemberantasan penyakit diare atau P2D yang harus disertai beberapa upaya pencegahan yang akan mengurangi insiden keparahan diare sehingga meningkatkan penurunan angka kematian, dengan harapan akan tercapai keberhasilan pembangunan jangka panjang. (Afitia Pamedar,2008).
Diharapkan pula partisipasi dari Puskesmas terdekat diwilayah lebih menggalakkan program-program untuk menanggulangi penyakit diare ini, paling tidak dapat memberi dan menanamkan pemahaman tentang pentingnya asupan gizi bagi ibu menyusui untuk menghindari penyakit diare serta pencegahannya sedini mungkin.
Kelapadua, 23 Februari 2010
Nama : IKA KURNIATI
NPM : 27209035
Kelas : 4 EB 15
Kuliah : RISET AKUNTANSI
KEJADIAN DIARE PADA BAYI USIA 4 - 6 BULAN?”
Kejadian seperti ini terjadi lagi. Lagi-lagi karena minimnya pengetahuan para ibu muda yang awam mengenai perawatan bayi.
Sungguh disayangkan seorang ibu yang akan memiliki seorang bayi tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan untuk menciptakan penerus bangsa secara optimal.
Kasus seperti diare pada bayi masih dianggap sepele, sehingga mereka tidak menghiraukan kadar cairan dalam tubuh sang bayi yang semakin berkurang. Mereka pun tidak menghiraukan kadar asupan gizi yang masuk ketubuh mereka yang pada akhirnya akan diserap oleh anak balita mereka melalui air susu ibu (ASI).
PERLU DIKETAHUI :
Pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif pada bayi umur 0-6 bulan sangat berpengaruh terhadap frekuensi kejadian diare. Berdasarkan hasil pengamatan praktik lapangan, bayi yang mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama frekuensi terkena diare sangat kecil bahkan mulai minggu ke-4 sampai bulan ke-6. Keadaan ini menggambarkan seluruh produk ASI dapat terserap oleh system pencernaan bayi. Menurut survey pemberantasan penyakit diare tahun 2000 bahwa angka kesakitan atau insiden diare terdapat 301 per 1000 penduduk di Indonesia.
Angka kesakitan diare pada balita adalah 1,0 - 1,5 kali per tahun. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Depkes RI tahun 2000, bahwa 10% penyebab kematian bayi adalah diare. Data statistik menunjukkan bahwa setiap tahun diare menyerang 50 juta penduduk Indonesia dan dua pertiganya adalah bayi dengan korban meninggal sekitar 600.000 jiwa (Widjaja, 2002).
Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian anak terutama di negara berkembang, dengan prakiraan sekitar 1,5 milyar episode dan 1,5 - 2,5 juta kematian tiap tahun. Sekitar 85% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan (Misnadiarly, 1995) Menurut laporan Dep.Kes RI, di Indonesia setiap anak mengalami episode diare 1,6 – 2 kali setahun (Dwipoerwantoro, 2003). Di bangsal gastroenterologi unit anak RSCM, FKUI angka kematian dengan penyakit diare sebanyak 20,3%. Angka kejadian dan kematian diare pada anak-anak di negara-negara
berkembang masih sangat tinggi, lebih-lebih pada anak-anak yang tidak mendapat ASI. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor nutrisi maupun non nutrisi pada ASI yaitu selain nilai gizi ASI yang tinggi juga di dalam ASI mengadung antibodi. Sel-sel darah putih, enzim, hormon, dan lain-lain (Suharjo,1992) .
Di bagian ilmu kesehatan anak FKUI/RSCM diare didefinisikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Hal ini banyak disebabkan oleh berbagai faktor yang diantaranya bakteri, virus, faktor lingkungan, faktor penyapihan dan higienis perorangan. Tetapi, dari bermacam-macam faktor itu yang paling banyak menyebabkan diare pada bayi adalah pada saat penyapihan, karena pada saat
ini bayi diberi susu formula atau makanan tambahan yang kurang higienis, oleh karena itu air susu ibu (ASI) yang merupakan makanan terbaik bagi bayi sangatlah perlu untuk diberikan pada bayi dengan diberikan ASI bayi akan banyak mendapat keuntungan salah satunya adalah zat-zat kekebalan yang terkandung di dalamnya, untuk melindungi dirinya dari penyakit-penyakit infeksi terutama penyakit diare (FKUI, 1985).
Diare dapat disebabkan oleh berbagai infeksi, selain penyebab lain seperti malabsorbsi. Diare sebenarnya merupakan salah satu gejala dari penyakit pada sistem gastrointestinal atau penyakit lain di luar saluran pencernaan, tetapi sekarang lebih dikenal dengan “penyakit diare”, karena dengan sebutan penyakit diare akan mempercepat tindakan penanggulangannya. Penyakit diare terutama pada bayi perlu mendapat tindakan secepatnya karena dapat membawa bencana bila terlambat (Ngastiyah, 1997).
Penyakit diare apabila tidak segera ditangani dapat menimbulkan beberapa komplikasi diantaranya yaitu terjadi dehidrasi, renjatan hipovolemik, hipokalemia, intoleransi laktosa sekunder, kejang dan kurang energi protein (FKUI, 1985).
Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian anak terutama di negara berkembang, dengan prakiraan sekitar 1,5 milyar episode dan 1,5 - 2,5 juta kematian tiap tahun. Sekitar 85% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan (Misnadiarly, 1995)
Menurut laporan Dep.Kes RI, di Indonesia setiap anak mengalami episode diare 1,6 – 2 kali setahun (Dwipoerwantoro, 2003). Di bangsal gastroenterologi unit anak RSCM, FKUI angka kematian dengan penyakit diare sebanyak 20,3%. Menurut survey pemberantasan penyakit diare tahun 2000 bahwa angka kesakitan atau insiden diare terdapat 301 per 1000 penduduk di Indonesia.
Dengan demikian supaya dapat memberantas sunguh-sungguh penyakit diare diperlukan suatu komponen pengelolaan kasus diare yang tepat yaitu program pemberantasan penyakit diare atau P2D yang harus disertai beberapa upaya pencegahan yang akan mengurangi insiden keparahan diare sehingga meningkatkan penurunan angka kematian, dengan harapan akan tercapai keberhasilan pembangunan jangka panjang. (Afitia Pamedar,2008).
Diharapkan pula partisipasi dari Puskesmas terdekat diwilayah lebih menggalakkan program-program untuk menanggulangi penyakit diare ini, paling tidak dapat memberi dan menanamkan pemahaman tentang pentingnya asupan gizi bagi ibu menyusui untuk menghindari penyakit diare serta pencegahannya sedini mungkin.
Kelapadua, 23 Februari 2010
Nama : IKA KURNIATI
NPM : 27209035
Kelas : 4 EB 15
Kuliah : RISET AKUNTANSI
Langganan:
Postingan (Atom)